Jumat, 12 Oktober 2012

ASKEP STRUMA

LAPORAN PENDAHULUAN
STRUMA


A. KONSEP MEDIK
1. Pengertian struma nodosa non toksik
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.
(Sri Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987).
2. Anatomi fisiologi kelenjar tyroid
a. Anatomi
Kelenjar tyroid terdiri dari dua lobus yang berkapsul, yang terletak di sebelah kanan dan kiri trakea. Kedua lobus dihubungkan oleh isthmus yang menyilang trakea sedikit di bawah kartilago krikoid. Berat kelenjar tyroid normal pada orang dewasa adalah sekitar 15 – 20 gram. Setiap lobus mempunyai diameter vertikal 2 – 3 cm dan tebal 1 cm. Volume kelenjar tyroid dapat diperkirakan antara 10 – 30 cm pada orang normal.
b. Fisiologi
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif hormon T4. bentuk aktif ini adalah trydotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4, di perifer dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Kelenjar tyroid terdiri dari folikel-fiolikel yang berisi larutan koloid. Hormon ini merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan sel tubuh, mengatur metabolisme lemak, hidrat arang dan sangat diperlukan untuk pertumbuhan. Fungsi kelenjar tyroid dipengaruhi oleh TSH (tyroid stimulating hormon) dari hipofisis anterior. Apabila TSH menurun dapat terjadi atropi tyroid dan apabila TSH meningkat, hormon tyroid juga meningkat yang kemudian melalui mekanisme feed back akan menekan fungsi hypofisis. Sebaliknya apabila hormon tyroid berkurang akan merangsang hypofisis untuk mengeluarkan TSH lebih banyak. Oleh karena itu apabila hormon tyroid berkurang akan mengakibakan hyperplasia dan pembesaran kelenjar tyroid. Proses hyperplasia cenderung lokal dan tersebar, sehingga menimbulkan benjolan-benjolan (noduli).
3. Etiologi
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
a. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
c. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak, kacang kedelai).
d. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
4. Patofisiologi
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid. Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh TSH kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3). Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi TSH dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.
5. Gejala-gejala
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.
6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan atas dasar adanya struma yang bernodul dan tidak toksik, melalui :
a. Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.
b. Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (troksin) dan T3 (triyodotironin) dalam batas normal.
c. Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau tidaknya nodul.
d. Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsi yang hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang berpengalaman.
7. Penatalaksanaan
a. Pencegahan
Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat.
·         Edukasi
Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.
·         Penyuntikan lipidol
Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8 cc.
b. Tindakan operasi
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan operasi bila pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya : penekanan pada organ sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan yang pasti akan dicurigai.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Dalam melaksanakan asuhan keperawatan, penulis menggunakan pedoman asuhan keperawatan sebagai dasar pemecahan masalah pasien secara ilmiah dan sistematis yang meliputi tahap pengkajian, perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari dasar dalam proses keperawatan secara keseluruhan guna mendapat data atau informasi yang dibutuhkan untuk menentukan masalah kesehatan yang dihadapi pasien melalui wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik meliputi :
a. Aktivitas/istirahat
Data subyektif : insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat.
Data obyektif : atrofi otot.
b. Eliminasi
Data subyektif : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
c. Integritas ego
Data subyektif : mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik.
Data obyektif : emosi labil, depresi.
d. Makanan/cairan
Data subyektif : kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah.
Data obyektif : pembesaran tyroid, goiter.
e. Rasa nyeri/kenyamanan
Data subyektif : nyeri orbital, fotofobia.
f. Pernafasan
Data subyektif : frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea, edema paru (pada krisis tirotoksikosis).
g. Keamanan
Data subyektif : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan).
Data obyektif : suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.
h. Seksualitas
Data subyktif : libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.
Setelah kseluruhan data terkumpul, selanjutnya dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :
a. Data subyektif
Data subyektif mencakup gangguan koordinasi insomnia, perubahan pola eliminasi, kemampuan untuk menangani tekanan-tekanan (stress), penurunan berat badan, nafsu makan meningkat, nyeri orbital, frekuensi pernafasan meningkat, daya penyesuaian terhadap panas dan dingin, libido menurun.
b. Data obyektif
Hal ini ditandai dengan adanya atropi otot, emosi labil, depresi, pembesaran tiroid, goiter, peningkatan suhu di atas 37,40 C, diaphoresis, sifat dan ciri-ciri tubuh, keadaan rambut termasuk kualitasnya serta keadaan mata.

Langkah selanjutnya adalah penentuan diagnosa keperawatan yang merupakan suatu pernyataan dan masalah pasien secara nyata maupun potensial berdasarkan data yang terkumpul. Diagnosa keperawatan pada pasien dengan struma nodosa nontoksis khususnya post operai dapat dirumuskan sebagai berikut ;
a. Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal, ditandai dengan :
Data subyektif : sakit menelan, nyeri luka operasi.
Data obyektif : pernafasan cepat dan dalam, ada sekret/lendir.
b. Gamgguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan, ditandai dengan :
Data subyektif : pembengkakan pada jaringan keronkongan, rasa nyeri pada luka, pasien tidak merasa nyaman, sakit menelan.
c. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat, ditandai dengan :
Data subyektif : pernafasan cepat (takipnea), nyeri luka operasi.
Data obyektif : peningkatan suhu tubuh, takikardi, cyanosis, kejang, mati rasa, dan infeksi pada luka operasi.
d. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi, ditandai dengan :
Data subyektif : bertanya, meminta informasi, pernyataan salah konsepsi.
Data obyektif : tidak mengikuti instruksi/terjadi komplikasi yang dapat dicegah.
2. Perencanaan keperawatan/intervensi
Perencanaan keperawatan adalah penyusunan rencana tindakan yang akan dilaksanakan untuk menanggulangi masalah pasien sesuai diagnosa keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan utama memenuhi kebutuhan pasien. Berdasarkan diagnosa keperawatan yang diuraikan di atas, maka disusunlah rencana keperawatan/intervensi sebagai berikut :
a. Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal, ditandai dengan :
- Data subyektif : sakit menelan, nyri luka operasi.
- Data obyektif : pernafasan cepat dan dalam, ada sekret/lendir yang kental di kerongkongan, dyspnoe, stridor, cyanosis.
Tujuan yang ingin dicpai sesuai kriteria hasil :
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan mencegah aspirasi.
Rencana tindakan/intervensi
1.) Pantau frekuensi pernafasan, kedalaman dan kerja pernafasan.
Rasional :
Pernafasan secara normal kadang-kadang cepat, tetapi berkembangnya distres pada pernafasan merupakan indikasi kompresi trakea karena edema atau perdarahan.
2.) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara ronchi.
Rasional :
Ronchi merupakan indikasi adanya obstruksi.spasme laringeal yang membutuhkan evaluasi dan intervensi yang cepat.
3.) Kaji adanya dispnea, stridor, dan sianosis. Perhatikan kualitas suara.
Rasional :
Indikator obstruksi trakea/spasme laring yang membutuhkan evaluasi dan intervensi segera.
4.) Waspadakan pasien untuk menghindari ikatan pada leher, menyokog kepala dengan bantal.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan tegangan pada daerah luka karena pembedahan.
5.) Bantu dalam perubahan posisi, latihan nafas dalam dan atau batuk efektif sesuai indikasi.
Rasional :
Mempertahankan kebersihan jalan nafas dan evaluasi. Namun batuk tidak dianjurkan dan dapat menimbulkan nyeri yang berat, tetapi hal itu perlu untuk membersihkan jalan nafas.
6.) Lakukan pengisapan lendir pada mulut dan trakea sesuai indikasi, catat warna dan karakteristik sputum.
Rasional :
Edema atau nyeri dapat mengganggu kemampuan pasien untuk mengeluarkan dan membersihkan jalan nafas sendiri.
7.) Lakukan penilaian ulang terhadap balutan secara teratur, terutama pada bagian posterior
Rasional :
Jika terjadi perdarahan, balutan bagian anterior mungkin akan tampak kering karena darah tertampung/terkumpul pada daerah yang tergantung.
8.) Selidiki kesulitan menelan, penumpukan sekresi oral.
Rasional :
Merupakan indikasi edema/perdarahan yang membeku pada jaringan sekitar daerah operasi.
9.) Pertahankan alat trakeosnomi di dekat pasien.
Rasional :
Terkenanya jalan nafas dapat menciptakan suasana yang mengancam kehidupan yang memerlukan tindakan yang darurat.
10.) Pembedahan tulang
Rasional :
Mungkin sangat diperlukan untuk penyambungan/perbaikan pembuluh darah yang mengalami perdarahan yang terus menerus.
b. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan saraf laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan, ditandai dengan :
- Data subyektif : pembengkakan pada jaringan kerongkongan, rasa nyeri pada luka, pasien tidak merasa nyaman, sakit menelan.
- Data obyektif : tidak dapat berbicara, menggunakan bahasa isyarat.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
- Mampu menciptakan metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipahami.
Rencana tindakan/intervensi
1.) Kaji fungsi bicara secara periodik.
Rasional :
Suara serak dan sakit tenggorok akibat edema jaringan atau kerusakan karena pembedahan pada saraf laringeal yang berakhir dalam beberapa hari kerusakan saraf menetap dapat terjadi kelumpuhan pita suara atau penekanan pada trakea.
2.) Pertahankan komunikasi yang sederhana, beri pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban ya atau tidak.
Rasional :
Menurunkan kebutuhan berespon, mengurangi bicara.
3.) Memberikan metode komunikasi alternatif yang sesuai, seperti papan tulis, kertas tulis/papan gambar.
Rasional :
Memfasilitasi eksprsi yang dibutuhkan.
4.) Antisipasi kebutuhan sebaik mungkin. Kunjungan pasien secara teratur.
Rasional ;
Menurunnya ansietas dan kebutuhan pasien untuk berkomunias.
5.) Beritahu pasien untuk terus menerus membatasi bicara dan jawablah bel panggilan dengan segera.
Rasional :
Mencegah pasien bicara yang dipaksakan untuk menciptakan kebutuhan yang diketahui/memerlukan bantuan.
6.) Pertahankan lingkungan yang tenang.
Rasional :
Meningkatkan kemampuan mendengarkan komunikasi perlahan dan menurunkan kerasnya suara yang harus diucapkan pasien untuk dapat didengarkan.
c. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat, ditandai dengan :
- Data subyektif : pernafasan cepat (takipnea), nyeri luka operasi.
- Data obyektif : peningkatan suhu tubuh, tachicardi, cyanosis, kejang, mati rasa dan infeksi pada luka operasi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
- Menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi terpenuhi/terkontrol.
Rencana tindakan/intervensi
1.) Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi (140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan paru).
Rasional :
Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis tyroid.
2.) Evaluasi reflesi secara periodik. Observasi adanya peka rangsang, misalnya gerakan tersentak, adanya kejang, prestesia.
Rasional :
Hypolkasemia dengan tetani (biasanya sementara) dapat terjadi 1 – 7 hari pasca operasi dan merupakan indikasi hypoparatiroid yang dapat terjadi sebagai akibat dari trauma yang tidak disengaja pada pengangkatan parsial atau total kelenjar paratiroid selama pembedahan.
3.) Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi yang rendah.
Rasional :
Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.
4.) Memantau kadar kalsium dalam serum.
Rasional :
Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi pengganti.
5.) Kolaborasi
Berikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).
Rasional ;
Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi mungkin juga menjadi permanen.
d. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan paska operasi ditandai dengan :
- Data subyektif : nyeri luka operasi, sakit menelan.
- Data obyektif : lendir kental di kerongkongan, edema sekitar luka operasi.
Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
- Melaporkan nyeri hilang atau terkontrol. Menunjukkan kemampuan mengadakan relaksasi dan mengalihkan perhatian dengan aktif sesuai situasi.
Rencana tindakan/intervensi :
1.) Kaji tanda-tanda adanya nyeri baik verbal maupun non verbal, catat lokasi, intensitas (skala 0 – 10) dan lamanya.
Rasional :
Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri, menentukan pilihan intervensi, menentukan efektivitas terapi.
2.) Letakkan pasien dalam posisi semi fowler dan sokong kepala/leher dengan bantal pasir/bantal kecil.
Rasional :
Mencegah hiperekstensi leher dan melindungi integritas gari jahitan.
3.) Pertahankan leher/kepala dalam posisi netral dan sokong selama perubahan posisi. Instruksikan pasien menggunakan tangannya untuk menyokong leher selama pergerakan dan untuk menghindari hiperekstensi leher.

Rasional :
Mencegah stress pada garis jahitan dan menurunkan tegangan otot.
4.) Letakkan bel dan barang yang sering digunakan dalam jangkauan yang mudah.
Rasional :
Membatasi ketegangan, nyeri otot pada daerah operasi.
5.) Berikan minuman yang sejuk/makanan yang lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.
Rasional :
Menurunkan nyeri tenggorok tetapi makanan lunak ditoleransi jika pasien mengalami kesulitan menelan.
6.) Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi, seperti imajinasi, musik yang lembut, relaksasi progresif.
Rasional :
Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman secara lebih efektif.
7.) Kolaborasi
Beri obat analgetik dan/atau analgetik spres tenggorok sesuai kebutuhannya.
8.) Berikan es jika ada indikasi
Rasional :
Menurunnya edema jaringan dan menurunkan persepsi terhadap nyeri.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan tidak mengungkapkan secara terbuka/mengingat kembali, setelah menginterpretasikan konsepsi.
- Data subyektif : bertanya, meminta informasi, pernyataan salah konsepsi.
- Data obyektif : tidak mengikuti instruksi, terjadinya komplikasi yang dapat dicegah.

Tujuan yang ingin dicapai sesuai kriteria hasil :
- Adanya saling pengertian tentang prosedur pembedahan dan penanganannya, berpartisipasi dalam program pengobatan, melakukan perubahan gaya hidup yang perlu.
Rencana tindakan/intervensi :
1.) Tinjau ulang prosedur pembedahan dan harapan selanjutnya.
Rasional ;
Member pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat keputusan sesuai informasi.
2.) Diskusikan kebutuhan diet yang seimbang, diet bergizi dan bila dapat mencakup garam beriodium.
Mempercepat penyembuhan dan membantu pasien mencapai berat badan yang sesuai dengan pemakaian garam beriodium cukup.
3.) Hindari makanan yang bersifat gastrogenik, misalnya makanan laut yang berlebihan, kacang kedelai, lobak.
Rasional :
Merupakan kontradiksi setelah tiroidiktomi sebab makanan ini menekan aktivitas tyroid.
4.) Identifikasi makanan tinggi kalsium (misalnya : kuning telur, hati)
Rasional :
Memaksimalkan suplay dan absorbsi jika fungsi kelenjar paratiroid terganggu.
5.) Dorong program latihan umum progresif
Rasional :
Latihan dapat menstimulasi kelenjar tyroid dan produksi hormon yang memfasilitasi pemulihan kesejahteraan.
3. Pelaksanaan keperawatan
Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah dirumuskan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien secara optimal dengan menggunakan keselamatan, keamanan dan kenyamanan pasien. Dalam melaksanakan keperawatan, haruslah dilibatkan tim kesehatan lain dalam tindakan kolaborasi yang berhubungan dengan pelayanan keperawatan serta berdasarkan atas ketentuan rumah sakit.
4. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari proses keperawatan yang bertujuan untuk menilai tingkat keberhasilan dari asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Dari rumusan seluruh rencana keperawatan serta impelementasinya, maka pada tahap evaluasi ini akan difokuskan pada :
a. Apakah jalan nafas pasien efektif?
b. Apakah komunikasi verbal dari pasien lancar?
c. Apakah tidak terjadi tanda-tanda infeksi?
d. Apakah gangguan rasa nyaman dari pasien dapat terpenuhi?
e. Apakah pasien telah mengerti tentang proses penyakitnya serta tindakan perawatan dan pengobatannya?


DAFTAR PUSTAKA

Doenges E. Marylnn, et all, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi Ketiga, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Engram Barbara, (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Vol. 3, Penerbit : Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Henderson M. A, Ilmu Bedah Untuk Perawat, Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.

Junadi Burnawan, (1982), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Kedua, Media Aeusculapius, FKUI, Jakarta.

Moelianto Djoko R, (1996), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Ketiga, Balai Penerbit FKUI Jakarta.

__________________, (1987), Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, EGC, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar